Sabtu, 12 Mei 2012

Prinsip Dasar Tauhid




            Suatu hal yang paling membedakan Islam dengan agama lainnya adalah ketersediaan ruang berpikir di dalamnya yang sangat leluasa. Ketersediaan dimaksud tidak hanya berkenaan dengan masalah-masalah duniawiah manusia, tetapi juga bersentuhan dengan ajaran yang paling prinsip dan mendasar, yaitu masalah keimanan. Keimanan di dalam Islam bukan hanya sebagai sistem keyakinan, tetapi juga sistem keilmuan. Ilmu yang secara khusus membahas tentang keimanan dikenal dengan Ilmu Tauhid.
Ilmu Tauhid secara sederhana dapat diartikan sebagai ilmu yang membicarakan tentang cara menetapkan keyakinan di dalam agama dengan mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan, baik dalil naqli, aqli, maupun wijdani. Ada tiga kategori bahasan dalam Ilmu Tauhid. Pertama, bahasan tentang keberadaan Allah. Kedua, bahasan mengenai ke-Esaan Allah. Ketiga, bahasan tentang keniscayaan memperhambakan diri kepada Allah. Mari kita cermati satu persatu.
Allah dijelaskan di dalam Ilmu Tauhid mesti ada. Keberadaan Allah selanjutnya harus dibuktikan dengan sangat nyata sehingga tidak akan pernah dapat dibantah. Para ahli mengajukan sejumlah argument untuk membuktikan keberadaan Allah. Satu di antaranya adalah argument alam semesta. Alam semesta adalah fenomena faktual, semua orang tahu dan yakin bahwa alam semesta dengan segala isinya ada di depan mata. Tidak ada seorang pun yang meragukan keberadaan alam. Kenyataan ini menunjukkan bahwa jika alam semesta ada, berarti mesti ada pula yang mengadakannya. Bukankah menurut logika –yang sangat sederhana sekalipun- bahwa tidak mungkin ada suatu benda tanpa diadakan? Bukankah baju yang kita pakai itu ada yang mengadakannya? Bukankah peci yang kita kenakan tidak mungkin ada dengan sendirinya? Jika benda-benda kecil seperti kancing baju saja, tidak mungkin terjadi sendiri, maka logika manakah yang akan menyimpulkan bahwa alam terjadi dengan sendirinya?
Alam semesta yang dipahami dan diyakini ada oleh setiap logika sehat itu berfungsi secara teratur. Matahari dan bulan beredar pada porosnya. Bumi berputar dengan kadar waktu tertentu. Pergantian siang dan malam terjadi dengan sangat teratur.

لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ(40)
Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Q.S.Yasin: 40).
            Keteraturan ini tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi mesti ada yang mengaturnya. Pengaturnya pun mesti sangat hebat dan perkasa sehingga dipatuhi oleh setiap unsur yang diatur. Siapakah pengatur jagad raya alam semesta yang sangat perkasa itu? Itulah Allah yang kita imani keberadaannya.
            Allah yang Maha Perkasa dan berkuasa dalam mengatur alam semesta itu mesti tunggal, tidak boleh lebih dari satu. Jika yang mengatur alam semesta itu lebih dari satu, maka akan terjadi perebutan pengaruh dalam pengaturan yang berujung kepada pertentangan antar pengatur. Bukankah saboh jalo hanjeut dua keumudo, saboh nanggroe hanjeut dua raja? Allah yang kita imani ada dan perkasa itu mesti pula Esa.
            Dalam al-Qur'an ditemukan sejumlah ayat yang menegaskan tentang ke-Esaan Allah. Dua di antaranya adalah sebagai berikut:
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ(163)
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Baqarah: 163).

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ(1)
Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, (Q.S.al-Ikhlash: 1)

            Dalam ayat 163 Surah al-Baqarah, Allah ditegaskan sebagai Tuhan Yang Maha Esa dengan menggunakan ungkapan wahid. Sementara itu dalam surah al-Ikhlash, Ke-Esaan Allah dilafalkan dengan ungkapan Ahad. Apa perbedaan di antara keduanya?
            Wahid bermakna bahwa Allah Maha Esa, tidak ada sandingan dan bandingan serta tandingannya dengan apapun, di manapun dan kapanpun. Hanya satu-satunya, tidak ada duanya. Inilah rahasia penggandengan sifat al-Rahman dan al-Rahim di ujung ayat di atas. Seakan-akan Allah menegaskan bahwa diri-Nya yang Esa itu memang tidak ada taranya, akan tetapi sifat-Nya tidak semena-mena. Sekalipun Allah sangat hebat dan memiliki kekuasaan tak terbatas itu, tetap saja sangat Pengasih dan Penyayang. Pelajarannya bagi kita adalah; boleh jadi ada di antara kita menjadi penguasa tertinggi di suatu wilayah, atau di sebuah kota, atau dalam suatu instansi tertentu di mana kekuasaan kita tak tertandingi oleh orang lain; maka janganlah semena-mena. Utamakan kasih dan saying terhadap orang-orang yang tidak sehebat dengan kita.
            Akan halnya ke-Esaan Allah yang dilafalkan dengan ungkapan Ahad bermakna bahwa Allah tunggal dalam arti yang hakiki; tidak terdiri atas unsur-unsur pembentuknya; tidak mempunyai bagian-bagian; tidak ada daging, tulang, atau urat misalnya, tidak ada jasmani dan rohaninya. Setiap sesuatu yang terdiri atas unsur-unsur, maka setiap unsur pembentuknya itu memiliki kebutuhan dan ketergantungan. Sebagai contoh, manusia yang terdiri atas jasmani dan rohani. Baik jasmani manusia, maupun rohaninya membutuhkan banyak hal seperti makanan, minuman, udara, cuaca, suhu, kelembaban, ketenangan, kenyamanan, dan sebagainya. Sedangkan Allah tidak butuh kepada apapun karena diri-Nya tidak terdiri atas bagian-bagian. Inilah rahasia penggandengan ayat ini dengan ayat berikutnya:
اللَّهُ الصَّمَدُ(2)
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Maknanya, Allah tidak memiliki kebutuhan dan ketergantungan, tetapi justeru kepada-Nya lah segala sesuatu bergantung. Pelajaran penting dalam kaitan ini adalah; jangan pernah menggantungkan harapan kepada selain Allah, karena semua yang selain Allah itu memiliki ketergantungan. Pada saat kita menggantungkan harapan kepada seseorang misalnya, maka sekurang-kurangnya orang tersebut punya ketergantungan tertentu pada saat memenuhi harapan kita. Boleh jadi ia bersedia memenuhi harapan kita, namun ia sesungguhnya juga berkepentingan dalam bentuk lainnya pada saat memenuhi harapan kita. Lihatlah betapa banyak orang yang dermawan, padahal target jangka panjangnya adalah untuk meraih kursi anggota dewan. Tidak sedikit kita temukan orang yang gemar membagi harta, namun tidak lama kemudian ia juga minta untuk dipilih saat PILKADA.
Keyakinan kepada Allah sebagai satu-satunya tempat menggantungkan harapan berimplikasi pada keniscayaan penyerahan diri secara total kepada Allah. Penyerahan diri dimaksud juga bermakna sebagai penghambaan diri kepada-Nya. Penghambaan diri  kepada Allah yang diajarkan di dalam Islam bukan dimaksudkan untuk membujuk dan merayu Allah sehingga tidak ditimpakan malapetaka kepada manusia. Penghambaan diri dimaksud terejawantah dalam aktivitas 'ubudiyah (peribadatan) yang sama sekali tidak membawa keuntungan apa-apa bagi Tuhan, melainkan semata-mata menguntungkan manusia sendiri.
Dari sisi lain, ibadah dalam Islam mempunyai cakupan yang sangat luas. seseorang hanya perlu memenuhi tiga keriteria tertentu sehingga segenap aktivitas yang dilakukannya akan bernilai ibadah. Kriteria pertama, ketulusan niat; bahwa apa yang dilakukannya tersebut semata-mata untuk mencari ridha Allah. Kriteria kedua, memenuhi asas manfaat; apapun yang dikerjakan itu tidak sia-sia. Kriteria ketiga, tidak bertentangan dengan aturan yang ada. Pemenuhan tiga kriteria tersebut pada setiap kegiatan akan membawa seseorang berkekalan dalam aktivitas ibadah.

ISLAM AGAMA PILIHAN



Kita sadar betul bahwa agama yang kita anut ini adalah benar. Tidak ada keraguan sedikit pun pada kita mengenai kebenaran dan keabsahan ajaran Islam. Singkatnya, kita sudah membuat pilihan yang tepat dan ideal dengan memilih agama Islam. Persoalannya sekarang adalah; sudahkah kita mengupayakan diri menjadi umat ideal dari sebuah agama yang ideal ini? Cukup beranikah kita mengakui bahwa diri kita dalah representasi dari umat Islam sebagaimana tuntutan ajaran Islam yang sesungguhnya? Sayang beribu sayang…al-Islam mahjubun bi al-muslimin kata orang bijak. Keindahan dan nilai-nilai ideal dari ajaran Islam terhalangi oleh prilaku yang tidak wajar dari umat Islam itu sendiri.
            Dalam kaitan inilah kita dituntut untuk selalu berikhtiar mengaca diri. Islam adalah agama pilihan; dan sudahkah kita menjadi umat pilihan? Jawabannya tak perlu dicari di dalam kitab, ensiklopedi atawa kamus. Jawaban sesungguhnya ada dalam benak kita; diperkuat oleh fakta diri kita; realita dan fenomena di sekitar kita. Beberapa isyarat profil umat pilihan disampaikan oleh Allah di dalam sejumlah firman suci-Nya;
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ(110)
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q. S. Ali Imran: 110).
            Sekali lagi, Islam adalah agama terbaik. Umat Islam dengan demikian mesti sebagai umat terbaik. Namun, kedudukan sebagai umat terbaik bukan semata-mata karena seseorang berkebetulan sebagai beragama Islam. Keberislaman seseorang dalam konteks ini dapat disebut sebagai modal dasar atau potensi untuk menjadi umat terbaik. Seseorang dipersyaratkan kemampuan mengaktualisasi potensi tersebut untuk meraih prediket umat terbaik. Aktualisasi dimaksud terwujud dalam sejumlah aktivitas;  menyuruh kepada yang ma`ruf; mencegah dari yang munkar; dan beriman kepada Allah, sebagaimana lanjutan ayat al-Qur'an di atas. 
            Ibn Katsir sebagai seorang penafsir al-Qur'an ternama merangkum sejumlah riwayat terkait penafsiran makna khaira ummah (umat terbaik). Umat Islam kata beliau adalah umat terbaik karena membawa manfaat bagi manusia. Kebaikan dalam kaitan ini dihubungkan dengan nilai kegunaan, sehingga pengiringan ungkapan ta'muruna bi al-ma'ruf dan seterusnya adalah bagian yang menyatu dengan ungkapan khaira ummah. Artinya, umat Islam adalah umat terbaik karena membawa manfaat bagi manusia. Manfaat dimaksud terkait dengan tugas yang diemban umat Islam sebagai pelaku amar ma'ruf dan nahi munkar. Hal yang sama juga dikemukakan oleh penafsir lainnya, Imam Qurthubi. Beliau mengutip pendapat Mujahid, seorang mufassir dari kalangan tabi'in bahwa prediket umat terbaik baru akan diperoleh jika melaksanakan kegiatan amar ma'ruf dan nahi munkar. Tanpa upaya yang serius dalam aktivitas amar ma'ruf dan nahi mungkar, prediket umat terbaik tidak mungkin dapat diperoleh.
            Amar ma'ruf dan nahi mungkar bukanlah pekerjaan sederhana. Sesungguhnya ia amat berat dan merupakan pekerjaan besar. Oleh karenanya, pekerjaan tersebut hanya mampu dilakukan oleh orang-orang besar saja. Orang besar yang dimaksudkan di sini bukan dari segi ukuran tubuh dan jabatan yang disandang; tetapi kebesaran dari sudut ketinggian derajatnya.
            Dewasa ini di sekitar kita terdapat sejumlah pelanggaran, penyimpangan, dan penyelewengan. Boleh jadi pelanggaran tersebut dilakukan di wilayah tempat kita tinggal. Tidak jarang pula terjadi di lembaga atau instansi tempat kita bekerja. Pelakunya mungkin saja orang-orang terdekat kita. Kerabat kerja kita, atau malah atasan kita. Pertanyaannya, mampukah kita menjadi pelaku amar ma'ruf dan nahi mungkar?
            Kita mengetahui bahwa mengajak seseorang untuk melaksanakan shalat misalnya, adalah bagian dari amar ma'ruf. Kita juga tahu bahwa melarang orang melakukan perzinaan dan kwalwat umpamanya, merupakan bagian dari nahi mungkar. Seterusnya, bukankah kita juga tahu bahwa melakukan penggelembungan harga (mark up) pada sejumlah proyek juga penyimpangan? Terkadang muncul pertanyaan dari masyarakat awam (atau pura-pura awam); tidak adakah anak negeri kita ini yang pandai dalam membangun jembatan sehingga kuat untuk menahan banjir? Tidak mampukah anak negeri ini membangun jalan yang tahan hingga sepuluh tahun? Tidak bisakah putera daerah membangun rumah korban tsunami yang sebermutu bangunan milik Turki?
Orang-orang awam ini melihat jalan yang dilintasinya dari pasar Aceh ke Darussalam misalnya, tiap tahun ada perbaikan, pembobokan, dan pengaspalan ulang. Bodoh sekalikah kita sehingga hanya mampu membuat jalan dengan mutu yang sangat rendah dan tahan hanya beberapa hari itu? Eeee rupanya bukan bodoh, tapi kelewat pandai. Pandai dalam memalsukan data. Pandai dalam mengolah angka. Maka jadilah sebagian pemborong sebagai pembohong. Adakah yang mampu menjadi pelaku amar ma'ruf dan nahi mungkar terhadap penyimpangan ini?
Sampai sejauh ini agaknya kita masih takut. Karena prediket menjadi umat terbaik memang belum mampu kita sandang sepenuhnya. Semoga Allah memaafkan kenaifan kita di masa lalu. Sekarang, dan nanti sesudah shalat jum'at ini saya yakin sebagian besar di antara kita menjadi lebih berani. Yakinlah, keberadaan kita di muka bumi ini tidak akan terlalu lama. Kita bertekad, kehidupan kita mesti bermanfaat, walau hanya satu kali dan sesudah itu mati. Seandainya semua kita memberanikan diri satu kali saja, mungkin penyimpangan dan pelanggaran akan dapat diberantas. Semoga Allah memotivasi kita dan memberikan inspirasi sehingga kita menjadi umat terbaik melalui keberanian dalam melakukan amar ma'ruf dan nahi mungkar.

PEMIMPIN JUJUR

PEMIMPIN YANG JUJUR DALAM ISLAM

            Kejujuran sering dipandang berlawanan dengan kebohongan. Orang jujur semakna dengan orang tidak bohong, sedangkan pembohong dianggap searti dengan orang tidak jujur. Kejujuran lahir dari keimanan, sedangkan kebohongan tumbuh dari kekufuran. Perhatikanlah firman Allah swt. berikut, yang artinya:
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ أُولَئِكَ هُمُ الصِّدِّيقُونَ وَالشُّهَدَاءُ عِنْدَ رَبِّهِمْ لَهُمْ أَجْرُهُمْ وَنُورُهُمْ وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ(19)
Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang siddiqun dan saksi di sisi Tuhan mereka. Mereka berhak mendapat pahala dan cahaya. Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni-penghuni neraka. (Q.S. al-Hadid: 19).

            Dalam ayat al-Qur'an di atas, orang yang mengimani Allah dan rasul-Nya diidentifikasi sebagai orang siddiqun dan syuhada'. Siddiqun mempunyai beberapa arti, salah satunya menurut Qurtubi adalah huwa al-ladzi yuhaqqiqu bi fi'lihi ma yaqulu bi lisanihi; orang yang seiring antara perkataan dan perbuatannya. Itulah yang disebut sebagai orang jujur.
Kejujuran merupakan modal paling prinsip dan mendasar bagi seseorang untuk mencapai kejayaan dan kesuksesan. Sebaliknya, kebohongan adalah jalan utama yang bakal mengantarkan manusia menuju kehancuran dan kebinasaan. Secara sederhana dapat dicontohkan, pedagang jujur boleh jadi memperoleh untung yang tidak terlalu besar di dalam usahanya. Namun, keuntungan tersebut bersifat permanen, berkesinambungan dalam masa yang sangat panjang. Sementara itu, pedagang yang bohong mungkin saja memperoleh keuntungan berlipat melalui kecurangan yang dipraktekkannya. Akan tetapi, keuntungan tersebut hanya sebentar, sebelum orang mengetahui kecurangannya. Setelah kecurangannya tersingkap, orang-orang akan meninggalkannya, tidak ada lagi yang mempercayainya.
Keuntungan yang bersifat duniawi saja susah diperoleh oleh orang-orang bohong, apalagi dengan kebahagiaan ukhrawi. Tidak aneh kiranya jika kita baca sebuah riwayat dari Abdullah yang melaporkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ كَذَّابًا
Sesungguhnya kejujuran akan menunjukkan (jalan) manusia menuju kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan (jalan) manusia menuju surga. Seseorang sungguh akan berlaku jujur sehingga dicatat sebagai orang jujur. Sesungguhnya kebohongan akan menunjukkan (jalan) manusia menuju kecurangan, dan kecurangan akan menunjukkan (jalan) menuju neraka. Seseorang akan mempraktekkan kebohongan sampai ia ditulis sebagai pembohong. (H.R. Bukhari dan Muslim).

            Apa yang kita sampaikan di atas baru merupakan kejujuran perorangan. Kejujuran yang dituntut keberadaannya pada setiap orang. Kejujuran terlebih-lebih diharapkan lagi ada pada pemimpin. Pemimpin yang jujur sangat diharap, selalu dinantikan oleh rakyat, senantiasa didambakan seluruh umat.
Ubaydullah ibn Ziyad menjenguk Ma'qil ibn Yasar al-Muzaniy yang terbaring sakit. Dalam kondisi yang sangat kritis menjelang ajalnya, Ma'qil merasa harus menyampaikan sebuah hadis yang didengarnya dari Rasulullah saw. bahwa: "Siapapun yang dipercayakan sebagai pemimpin meninggal dunia sementara ia masih berbohong kepada rakyatnya, maka Allah mengharamkannya memperoleh surga." (H.R. Muslim).

Kebohongan dapat berupa perkataan dan ucapan, bisa pula dalam bentuk sikap serta kebijakan. Seorang pemimpin yang terus menerus mengkampanyekan keberhasilan dan kemajuan selama kepemimpinannya, padahal justeru mengalami kemunduran, maka pemimpin itu sudah melakukan kebohongan. Apabila ada pemimpin yang sering mengungkapkan bahwa dirinya anti korupsi, tidak menerima sogokan dan pungli, padahal kekayaannya selama menjadi pemimpin bertambah berlipat ganda jauh melebihi gaji yang dibayarkan kepadanya, itu juga pemimpin yang tidak jujur. Seandainya seseorang sebelum terpilih menjadi pemimpin mengkampanyekan diri anti KKN, lalu sesudah memimpin mengangkat kerabat, dan orang-orang dekat sebagai pejabat, juga merupakan pemimpin yang bohong. Prilaku korupsi, kolusi, nepotisme, pungli, sogok menyogok adalah kejahatan tingkat tinggi yang apabila dilakukan oleh seseorang menyebabkannya memikul dosa besar. Selanjutnya, mengklaim diri sebagai orang yang tidak melakukan kejahatan-kejahatan tersebut, padahal ia bergelimang di dalamnya adalah berbohong, yang juga merupakan kejahatan tingkat tinggi. Ini berarti, orang tersebut melakukan dosa ganda.
Kejujuran seorang pemimpin tidak hanya diharapkan berada pada ucapan dan perkataannya. Sejak dari niat dan motivasi, sampai kepada sikap dan kebijakan yang dilakukan seorang pemimpin mesti didasari pada kejujuran. Para kontestan yang bakal maju dalam PILKADA; masih ada kesempatan untuk menyoal diri; jujurkah niat kita merebut kursi kepemimpinan untuk membangun bangsa, bukan mencari kekayaan dan ketenaran? Kalau jawabannya untuk membangun bangsa, relakah kita untuk tidak menjadi kaya? bersediakah kita untuk hidup sederhana, rumah sederhana dan kenderaan dinas yang sederhana? Jika jawabannya untuk memperoleh kekayaan dan ketenaran, sebaiknya silahkan mundur teratur. Tidak ada yang perlu diperebutkan kecuali api neraka.
Para pejabat yang sedang menjalankan tugas juga belum terlalu terlambat untuk menyoali diri; sudah sekaya apakah kita selama menjabat? Seberapa besar pendapatan selain gaji yang sudah kita nikmati? Tidak ingatkah kita bahwa Rasulullah yang mulia bersabda;
Siapapun yang kami tugaskan dalam suatu jabatan, maka kami bayar (dari harta negara). Apapun yang diterima selain (yang kami bayar) itu, disebut sebagai korupsi.(H.R. Abu Daud)

Seharusnya kita sangat takut menjadi pemimpin yang tidak jujur, karena ketidakjujuran pasti berujung pada  kesalahan dan kejahatan. Perhatikanlah sabda Rasulullah saw. yang mengidentifikasi pemimpin tidak jujur sebagai salah satu komponen manusia yang diabaikan keberadaannya oleh Allah di hari akhirat. Pengabaian lebih bermakna sebagai salah satu bentuk siksaan yang dikenakan kepada orang-orang tersebut. Allah tidak memperhatikan mereka karena begitu besarnya dosa mereka. Jika di hari akhirat, seseorang tidak diperhatikan oleh Allah, perhatian siapa lagi yang bisa diharap?
Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda: tiga (macam) orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat adalah orang tua yang penzina, orang miskin yang sombong dan pemimpin yang bohong. (H.R. al-Nasa'iy)

Ketiga macam orang yang disebutkan di dalam sabda suci Rasulullah di atas karena ketidakpantasan orang-orang tersebut bersikap demikian. Orang yang sudah tua tidak sepantasnya menjadi penzina karena ketuaannya. Seharusnya ia mampu menjaga diri, sanggup mengendalikan dorongan nafsunya, serta berposisi sebagai sosok yang bisa diteladani oleh anak dan cucunya. Orang miskin sombong juga demikian, sangatlah tidak patut terjadi. Tidak ada sesuatu apapun yang dapat ia andalkan untuk menyombongkan dirinya karena kemiskinannya. Begitu pula halnya dengan pemimpin; sungguh tidak wajar menjadi pembohong. Bukankah bohong sering dijadikan sebagai benteng terakhir bagi seseorang untuk melindungi dan mempertahankan diri. Bohong digunakan untuk menutupi kesalahan dan kelemahan para pengecut. Seorang pemimpin sejatinya adalah pemberani, bukan pengecut, bukan orang yang menutup-nutupi kesalahan dengan cara berbohong. Bohong tidak pantas dimiliki oleh seorang pemimpin.
Sejarah menceritakan berulang-ulang kepada kita begitu banyak para penguasa yang jujur yang dimuliakan dan diagung-agungkan. Nama mereka disebut-sebut sekalipun telah lama mangkat. Mereka dirindukan dalam kenangan-kenangan indah. Kemuliaan mereka hadir di dalam pujian dan doa-doa. Tidak sedikit pula ada sejumlah orang yang diberi kesempatan oleh sejarah untuk menjadi pemimpin dan penguasa. Mereka bohong dan curang. Nama mereka tidak pernah diabadikan dalam kenangan dan ingatan. Kalau hari ini mereka disembah dan dimuliakan, esok kembali dilecehkan. Semasa menjabat, orang-orang begitu hormat, dan setelah pensiun mereka disepelekan. Hujatan dan kecaman sangat sering dilakukan kepada mantan penguasa yang tidak jujur.
Jika demikian halnya, ingin bagaimanakah kita sesungguhnya? Hadirin yang hadir di majelis ini semua mempunyai peluang dan kesempatan untuk menjadi pemimpin. Bukankah secara gamblang Rasulullah saw. menyatakan bahwa semua orang adalah pemimpin? Ada yang menjadi pemimpin negara atau sebuah bangsa, ada pula di antaranya yang akan memimpin wilayah, daerah, kota, kecamatan, kelurahan dan desa. Ada di antara kita yang sudah, atau bakal menjadi pemimpin organisasi, ada pula yang memimpin instansi, atau memimpin unit-unit kecil lainnya seperti keluarga dan rumah tangga. Dalam konteks ini, tidakkah kita ingin menjadi orang yang disenangi semasa hidup dan dikenang setelah meninggal dunia? Atau sebaliknya, kita ingin ditakuti saat masih memimpin, lalu dikecam setelah turun jabatan dan dihujat sepeninggal kita? Pilihannya hanya dua; akankah kita menjadi pemimpin jujur atau pembohong?

Kamis, 03 Mei 2012

Mengikis Mitos Bulan Safar


MENGIKIS MITOS SEPUTAR BULAN SHAFAR
Oleh: Tgk. Samsul Bahri, M.Ag.


Shafar adalah salah satu nama bulan dari dua belas bulan dalam kalender Islam atau tahun Hijriyah. Shafar berada di urutan kedua sesudah bulan Muharam. Secara etimologi, Shafar adalah Bahasa Arab yang memilliki sejumlah arti di antaranya kosong, kuning, dan nama penyakit.
Bulan ini dinamakan sebagai bulan Shafar dalam pengertian “kosong” karena kebiasaan orang-orang Arab zaman dulu meninggalkan tempat kediaman atau rumah mereka (sehingga kosong) pada bulan tersebut untuk berperang ataupun bepergian jauh. Selanjutnya penamaan bulan Shafar dalam pengertian “kuning”, karena biasanya bulan tersebut bertepatan dengan musim panas yang menyebabkan dedaunan menjadi kering dan berwarna kuning. Akan halnya shafar yang diidentifikasi sebagai nama penyakit karena masyarakat Arab pada masa jahiliyah dahulu meyakini adanya penyakit berbahaya yang disebabkan oleh keberadaan ulat besar dalam perut seseorang. Masih ada satu pendapat lainnya terkait dengan penamaan bulan Shafar, yaitu angin yang berhawa panas dan menyerang sehingga menyebabkan sakit perut.
Keseluruhan arti shafar yang disebutkan di atas menunjukkan sisi negatif. Hal inilah yang selanjutnya menimbulkan kesan bahwa bulan Shafar itu harus diwaspadai. Kesan seperti ini berkembang dari suatu generasi ke generasi berikutnya hingga saat ini.
Di berbagai wilayah Nusantara misalnya, sebagian umat Islam hingga saat ini masih menganggap bulan Shafar sebagai pembawa kesialan. Atas dasar itu, mereka tidak berani melakukan berbagai aktivitas seperti walimah perkawinan karena dikhawatirkan tidak mampu bertahan lama. Mereka juga tidak berani membangun rumah karena dikhawatirkan tidak membawa ketenangan; serta tidak berani pula memulai usaha karena dikhawatirkan tidak berkembang dengan baik. Perjalanan jarak jauh sebaiknya tidak dilakukan dalam bulan ini karena dianggap berbahaya.
Dalam pada itu, bulan Shafar diyakini sebagai bulan panas sehingga harus hati-hati dalam berbicara. Pembicaraan yang kurang terkontrol dapat menyulut emosi dan pertikaian. Masyarakat sangat dianjurkan untuk tidak sering menggunakan senjata tajam karena berpeluang untuk melukai orang lain. Begitulah sebagian mitos tentang bulan shafar.
Hal yang lebih memprihatinkan lagi sehubungan dengan mitos bulan Shafar adalah keyakinan sebagian masyarakat tentang wajibnya mandi shafar pada hari Rabu terakhir bulan ini. Mandi shafar (Rabu habeh) itu dimaksudkan untuk membuang sial. Apabila sial tidak dibuang melalui mandi shafar, seseorang akan terus menerus diintai oleh petaka dan bencana.
Pertanyaannya; sesuaikah keyakinan seperti digambarkan di atas dengan ajaran Islam? Benarkah Shafar itu bulan panas, penuh sial, petaka dan bencana? Selanjutnya, mestikah kita mandi Rabu habeh di bulan Shafar untuk membuang sial?
Pertanyaan ini sesungguhnya tidak sulit dijawab jika kita benar-benar menjadikan al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam dan Sunnah sebagai penjelasnya. Tidak ada satu pun ayat al-Qur’an yang menyinggung persoalan kesialan bulan Shafar. Bahkan, nama bulan Shafar saja tidak disebutkan di dalam al-Qur’an. Satu-satunya nama bulan yang terdapat di dalam al-Qur’an  hanyalah bulan Ramadhan. Itu pun disebutkan dalam koteks fadhilah (kemuliaannya) karena di dalamnya diturunkan kitab suci tersebut.
Selain Ramadhan, Allah hanya menyebutkan empat bulan haram, yang di dalamnya dilarang melakukan peperangan;
Artinya: "Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan (sebagaimana) dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antara (yang dua belas bulan itu) terdapat empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu...” (Q.S.al-Taubah: 36).
Bulan-bulan haram yang dimaksudkan di dalam ayat di atas adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Pada bulan-bulan tersebut tidak diperkenankan berperang. Jadi, bulan Shafar tidak disinggung sedikit pun di sini.
Selanjutnya, di dalam hadis Rasulullah terdapat ungkapan bulan Sahafar dalam beragam konteksnya. Salah satu di antaranya adalah penafian akan adanya sial pada bulan Shafar. Artinya, Rasulullah secara tegas membantah keyakinan sebagian orang bahwa bulan Shafar itu menimbulkan petaka melalui sabda Beliau I,yang terdapat di dalam sejumlah kitab hadis riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmuzi, Nasa’iy, Ahmad ibn Hanbal, dan Ibnu Majah; Laa ‘adwaa wa laa thiyarata wa laa shafara wa laa haamata.
لا عَدْوَى ، وَلا طِيَرَة ، وَلا صَفَر ، وَلا هَامَة

artinya: Tidak ada penyakit yang menular sendiri, tidak ada undian nasib dengan menggunakan burung, tidak ada hantu-hantuan dan tidak ada (kesialan) bulan Safar.(HR.Bukhari dari Abu Hurairah r.a).
                       
Jika di dalam al-Qur’an dan hadis tidak terdapat persoalan bulan Shafar yang dimitoskan itu, mengapa sebagian umat Islam meyakini kebenarannya? Satu-satunya jawaban yang masuk akal dalam hal ini adalah; karena mereka tidak berilmu. Karena keawaman dan kejahilan, sebagian umat Islam hidup dan menghidupkan mitos yang merugikan sekaligus menggelikan itu. Kita berdoa semoga Allah senantiasa menyinari kita dengan cahaya hidayah-Nya agar dapat membedakan mana kebenaran dan mana mitos kesesatan. Kita juga lebih-lebih perlu berdoa lagi semoga orang-orang yang tergurita oleh mitos bulan Shafar itu memperoleh hidayah Allah dan kembali ke jalan kebenaran. Amin.