PEMBELAJARAN
AQIDAH ISLAMIAH
Oleh: Samsul Bahri
A. Pendahuluan
Aqidah
merupakan salah satu aspek penting di dalam studi keislaman, di samping
syari'ah dan akhlak. Secara kategoris, aqidah tidak bisa dipisahkan dari
syari'ah dan akhlak, begitupula sebaliknya. Ketiga aspek tersebut dipilah hanya
karena alasan teknis guna memudahkan sistematisasi pembelajaran. Untuk keperluan pemahaman dan pengamalan,
aspek-aspek tersebut berjalin berkelindan serta saling mendukung satu sama
lain.
Aqidah
yang pada dasarnya berupa keyakinan yang terpatri di dalam hati semestinya
mampu menggerakkan individu dalam mempraktekkan syari'ah, dan mampu
mengejawantah dalam bentuk prilaku kesehariannya. Ibarat pohon, aqidah adalah
akarnya, syari'ah merupakan batang dan cabang, sementara akhlak berupa buahnya.
Buah yang bermutu tidak mungkin diperoleh dari pohon yang berakar busuk dan
berbatang lapuk. Akhlak terpuji hanya akan lahir dari individu beraqidah imani,
plus ketaatan yang tinggi terhadap syari'ah. Pengejawantahan trilogi:
aqidah, syari'ah dan akhlak di dalam kehidupan keseharian umat sangat
dipengaruhi oleh faktor pembelajarannya.
Pembelajaran
aqidah bersifat fundamental dan mendasar bagi umat. Oleh karena itu sedapat
mungkin diupayakan agar pembelajaran dimaksud tidak mengalami disorientasi yang
berakibat pada terdistorsinya pemahaman umat terhadap prinsip-prinsip aqidah.
Dari sisi lain, pembelajaran aqidah sejatinya juga mempertimbangkan
progresivitas umat dengan berbagai tantangan kontemporer sehingga ilmu yang
membahas aqidah (Ilmu Tauhid) tidak dianggap sebagai ilmu "mati".
B. Aqidah Sebagai Sistem Keyakinan dan
Keilmuan
Secara
etimologi, aqidah adalah Bahasa Arab dengan derivasi utama: 'aqada-ya'qidu-'aqdan
yang memiliki sejumlah makna; ikatan, simpul, janji, dan belenggu. Semua arti etimologis di atas pada
dasarnya memiliki hubungan antara satu sama lain. Ikatan, simpul dan belenggu sering dipahami
bersinonim sekalipun penggunaan masing-masing kata tersebut memiliki tempat
tersendiri. Akan halnya janji, juga dipandang berkorelasi dengan makna-makna
lain, karena janji bersifat mengikat para pihak untuk menepatinya.
Pengertian aqidah secara etimologis
seperti di atas memudahkan pengidentifikasian aqidah sebagai sistem keyakinan
yang bersifat mengikat seseorang. Hanya saja, yang perlu dicatat di sini bahwa
ikatan yang dibangun atas dasar Aqidah Islamiah bukan kepercayaan yang tanpa
dasar dan membabi buta. Aqidah Islamiah didasari pada landasan pengetahuan dan
sejalan dengan logika sehat sehingga tidak bersifat tertutup dan tak antikritik.
Aqidah
didefinisikan para ahli antara lain sebagai sesuatu yang dipegang teguh dan
terhunjam kuat di dalam lubuk jiwa dan tak dapat beralih daripadanya. Sesuatu
yang dipegang teguh tersebut semestinya didasari pada pengetahuan yang
meyakinkan sehingga tidak goyah oleh sebab apapun. Oleh karena itu pula, Aqidah
Islamiah tidak hanya berupa sistem keyakinan, tetapi juga merupakan sistem
keilmuan. Ilmu yang dipandang sebagai penjelas dan pembahas Aqidah Islamiah
adalah Ilmu Tauhid.
Ilmu
Tauhid didefinisikan di antaranya sebagai ilmu yang membicarakan tentang cara
menetapkan aqidah agama dengan mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan, baik
dalil naqli, aqli, maupun wijdani. Penamaan ilmu ini sebagai Ilmu
Tauhid sudah mengisyaratkan secara pasti bahwa pembahasan pokok di dalamnya
terkait dengan persoalan ke-Esaan Allah. Aqidah Islamiah pada prinsipnya memang
berisikan ajaran mengenai ke-Esaan Allah. Ajaran mengenai ke-Esaan Allah yang
terdapat di dalam Aqidah Islamiah dijelaskan oleh Ilmu Tauhid secara sistematis
dengan berlandaskan dalil-dalil yang tidak diragukan.
C. TEMA-TEMA PEMBELAJARAN AQIDAH MASA KINI
Ada tiga tema pokok
pembelajaran aqidah yang penting diketengahkan untuk menjawab problem kekinian;
yaitu Ke-Esaan Tuhan, Keadilan, dan Pertanggungjawaban Manusia. Ketiga tema ini
merupakan suatu rangkaian yang utuh bagi terciptanya kehidupan yang ideal bagi
manusia. Dengan keyakinan akan ke-Esaan Tuhan, memungkinkan manusia
memposisikan dirinya di hadapan Allah dan di hadapan makhluk lainnya. Intinya,
manusia akan merasakan kemerdekaan diri yang tinggi dan tidak menjadi
subordinasi makhluk apapun. Kedudukan sesama manusia adalah setara yang
terwujud pada terciptanya kehidupan yang adil. Kemerdekaan diri meniscayakan
seseorang untuk mengkondisikan keadilan di tengah umat, di mana keniscayaan
tersebut mesti dapat dipertanggungjawabkan baik di dunia, maupun di hari
akhirat kelak.
Dalam pada itu, penting pula
diingat bahwa Ilmu Tauhid adalah sentral bagi segenap pengetahuan dan keilmuan.
Tauhid adalah dasar bagi aktivitas apapun. Semua paradigma mesti beracu dari nilai Tauhid.
Tauhid adalah landasan bagi metafisika, logika, etika, estetika, sosial budaya,
politik, dan ekonomi. Segenap ilmu dan pengetahuan mesti didasari pada nilai
Tauhid. Artinya, penglibatan Allah dan keikutsertaan-Nya dalam berbagai bidang
merupakan keniscayaan. Konsekuensinya, tidak ada aktivitas yang bersifat
sekuler semata; dunawiah saja. Semua urusan mesti dimulai atas nama Allah, dan
berakhir untuk nama Allah.
Hal penting lainnya adalah,
pembelajaran Aqidah Islamiah sejatinya diberikan sejak usia dini, dan tidak
pernah berhenti sampai seberapa pun usianya. Model dan metode pembelajarannya
tentu disesuaikan dengan perbedaan usia, latar belakang pendidikan dan tingkat
pemahaman. Pembelajaran aqidah untuk anak usia dini misalnya, lebih ditekankan
pada internalisasi nilai melalui pencontohan dan keteladanan. Mereka tidak
terlalu perlu dipaksakan untuk menghapal sifat dua puluh, al-Asma' al-Husna,
bahkan Rukun Iman. Sejumlah kegiatan bermain anak-anak dikondisikan agar
bernuansa nilai-nilai Aqidah Islamiah. Pengenalan dosa dan pahala dilakukan
dengan lebih menekankan pada aspek al-Rahman dan al-Rahim Tuhan.
Segala hal yang tidak baik dan tidak benar dikelompokkan kepada bagian dosa
yang harus dihindari, sebaliknya segala kebaikan adalah pahala yang perlu
selalu dilakukan. Pengidentifikasian kebaikan dan kebenaran dilakukan
sesederhana mungkin. Misalnya, hal-hal yang tidak disukai jika dilakukan
terhadapnya adalah tidak baik, dan karenanya harus dihindari agar tidak
melakukannya terhadap orang lain. Pengenalan term syirik dan hal-hal
yang terkait dengannya baru akan diberikan apabila usia mereka sudah beranjak
remaja.
D. Penutup
Tidak semua hal barangkali
bisa disampaikan di sini karena keterbatasan media. Namun, sekurang-kurangnya dapat
dipahami bahwa pembelajaran Aqidah Islamiah meniscayakan perhatian seluruh
komponen umat. Pembelajaran diberikan kepada semua lapisan masyarakat dengan
mempertimbangkan kemampuan nalar dan daya serap umat. Pentemaan dan
"silabisasi" memang diperlukan sekalipun tidak bersifat mutlak karena
yang lebih mempengaruhi efektivitas pembelajaran adalah singkronisasi, konsistensi,
dan kesinambungan pembelajaran. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar