Sabtu, 04 Mei 2013

Pembelajaran Aqidah Islamiah






PEMBELAJARAN AQIDAH ISLAMIAH
Oleh: Samsul Bahri
A. Pendahuluan
            Aqidah merupakan salah satu aspek penting di dalam studi keislaman, di samping syari'ah dan akhlak. Secara kategoris, aqidah tidak bisa dipisahkan dari syari'ah dan akhlak, begitupula sebaliknya. Ketiga aspek tersebut dipilah hanya karena alasan teknis guna memudahkan sistematisasi pembelajaran. Untuk keperluan pemahaman dan pengamalan, aspek-aspek tersebut berjalin berkelindan serta saling mendukung satu sama lain.
            Aqidah yang pada dasarnya berupa keyakinan yang terpatri di dalam hati semestinya mampu menggerakkan individu dalam mempraktekkan syari'ah, dan mampu mengejawantah dalam bentuk prilaku kesehariannya. Ibarat pohon, aqidah adalah akarnya, syari'ah merupakan batang dan cabang, sementara akhlak berupa buahnya. Buah yang bermutu tidak mungkin diperoleh dari pohon yang berakar busuk dan berbatang lapuk. Akhlak terpuji hanya akan lahir dari individu beraqidah imani, plus ketaatan yang tinggi terhadap syari'ah. Pengejawantahan trilogi: aqidah, syari'ah dan akhlak di dalam kehidupan keseharian umat sangat dipengaruhi oleh faktor pembelajarannya.
            Pembelajaran aqidah bersifat fundamental dan mendasar bagi umat. Oleh karena itu sedapat mungkin diupayakan agar pembelajaran dimaksud tidak mengalami disorientasi yang berakibat pada terdistorsinya pemahaman umat terhadap prinsip-prinsip aqidah. Dari sisi lain, pembelajaran aqidah sejatinya juga mempertimbangkan progresivitas umat dengan berbagai tantangan kontemporer sehingga ilmu yang membahas aqidah (Ilmu Tauhid) tidak dianggap sebagai ilmu "mati".
B. Aqidah Sebagai Sistem Keyakinan dan Keilmuan
            Secara etimologi, aqidah adalah Bahasa Arab dengan derivasi utama: 'aqada-ya'qidu-'aqdan yang memiliki sejumlah makna; ikatan, simpul, janji, dan belenggu. Semua arti etimologis di atas pada dasarnya memiliki hubungan antara satu sama lain. Ikatan, simpul dan belenggu sering dipahami bersinonim sekalipun penggunaan masing-masing kata tersebut memiliki tempat tersendiri. Akan halnya janji, juga dipandang berkorelasi dengan makna-makna lain, karena janji bersifat mengikat para pihak untuk menepatinya.
Pengertian aqidah secara etimologis seperti di atas memudahkan pengidentifikasian aqidah sebagai sistem keyakinan yang bersifat mengikat seseorang. Hanya saja, yang perlu dicatat di sini bahwa ikatan yang dibangun atas dasar Aqidah Islamiah bukan kepercayaan yang tanpa dasar dan membabi buta. Aqidah Islamiah didasari pada landasan pengetahuan dan sejalan dengan logika sehat sehingga tidak bersifat tertutup dan tak antikritik.
            Aqidah didefinisikan para ahli antara lain sebagai sesuatu yang dipegang teguh dan terhunjam kuat di dalam lubuk jiwa dan tak dapat beralih daripadanya. Sesuatu yang dipegang teguh tersebut semestinya didasari pada pengetahuan yang meyakinkan sehingga tidak goyah oleh sebab apapun. Oleh karena itu pula, Aqidah Islamiah tidak hanya berupa sistem keyakinan, tetapi juga merupakan sistem keilmuan. Ilmu yang dipandang sebagai penjelas dan pembahas Aqidah Islamiah adalah Ilmu Tauhid.
            Ilmu Tauhid didefinisikan di antaranya sebagai ilmu yang membicarakan tentang cara menetapkan aqidah agama dengan mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan, baik dalil naqli, aqli, maupun wijdani. Penamaan ilmu ini sebagai Ilmu Tauhid sudah mengisyaratkan secara pasti bahwa pembahasan pokok di dalamnya terkait dengan persoalan ke-Esaan Allah. Aqidah Islamiah pada prinsipnya memang berisikan ajaran mengenai ke-Esaan Allah. Ajaran mengenai ke-Esaan Allah yang terdapat di dalam Aqidah Islamiah dijelaskan oleh Ilmu Tauhid secara sistematis dengan berlandaskan dalil-dalil yang tidak diragukan.
C. TEMA-TEMA PEMBELAJARAN AQIDAH MASA KINI
Ada tiga tema pokok pembelajaran aqidah yang penting diketengahkan untuk menjawab problem kekinian; yaitu Ke-Esaan Tuhan, Keadilan, dan Pertanggungjawaban Manusia. Ketiga tema ini merupakan suatu rangkaian yang utuh bagi terciptanya kehidupan yang ideal bagi manusia. Dengan keyakinan akan ke-Esaan Tuhan, memungkinkan manusia memposisikan dirinya di hadapan Allah dan di hadapan makhluk lainnya. Intinya, manusia akan merasakan kemerdekaan diri yang tinggi dan tidak menjadi subordinasi makhluk apapun. Kedudukan sesama manusia adalah setara yang terwujud pada terciptanya kehidupan yang adil. Kemerdekaan diri meniscayakan seseorang untuk mengkondisikan keadilan di tengah umat, di mana keniscayaan tersebut mesti dapat dipertanggungjawabkan baik di dunia, maupun di hari akhirat kelak.
Dalam pada itu, penting pula diingat bahwa Ilmu Tauhid adalah sentral bagi segenap pengetahuan dan keilmuan. Tauhid adalah dasar bagi aktivitas apapun. Semua paradigma mesti beracu dari nilai Tauhid. Tauhid adalah landasan bagi metafisika, logika, etika, estetika, sosial budaya, politik, dan ekonomi. Segenap ilmu dan pengetahuan mesti didasari pada nilai Tauhid. Artinya, penglibatan Allah dan keikutsertaan-Nya dalam berbagai bidang merupakan keniscayaan. Konsekuensinya, tidak ada aktivitas yang bersifat sekuler semata; dunawiah saja. Semua urusan mesti dimulai atas nama Allah, dan berakhir untuk nama Allah.
Hal penting lainnya adalah, pembelajaran Aqidah Islamiah sejatinya diberikan sejak usia dini, dan tidak pernah berhenti sampai seberapa pun usianya. Model dan metode pembelajarannya tentu disesuaikan dengan perbedaan usia, latar belakang pendidikan dan tingkat pemahaman. Pembelajaran aqidah untuk anak usia dini misalnya, lebih ditekankan pada internalisasi nilai melalui pencontohan dan keteladanan. Mereka tidak terlalu perlu dipaksakan untuk menghapal sifat dua puluh, al-Asma' al-Husna, bahkan Rukun Iman. Sejumlah kegiatan bermain anak-anak dikondisikan agar bernuansa nilai-nilai Aqidah Islamiah. Pengenalan dosa dan pahala dilakukan dengan lebih menekankan pada aspek al-Rahman dan al-Rahim Tuhan. Segala hal yang tidak baik dan tidak benar dikelompokkan kepada bagian dosa yang harus dihindari, sebaliknya segala kebaikan adalah pahala yang perlu selalu dilakukan. Pengidentifikasian kebaikan dan kebenaran dilakukan sesederhana mungkin. Misalnya, hal-hal yang tidak disukai jika dilakukan terhadapnya adalah tidak baik, dan karenanya harus dihindari agar tidak melakukannya terhadap orang lain. Pengenalan term syirik dan hal-hal yang terkait dengannya baru akan diberikan apabila usia mereka sudah beranjak remaja.
D. Penutup
Tidak semua hal barangkali bisa disampaikan di sini karena keterbatasan media. Namun, sekurang-kurangnya dapat dipahami bahwa pembelajaran Aqidah Islamiah meniscayakan perhatian seluruh komponen umat. Pembelajaran diberikan kepada semua lapisan masyarakat dengan mempertimbangkan kemampuan nalar dan daya serap umat. Pentemaan dan "silabisasi" memang diperlukan sekalipun tidak bersifat mutlak karena yang lebih mempengaruhi efektivitas pembelajaran adalah singkronisasi, konsistensi, dan kesinambungan pembelajaran. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar