Menurut
sejarah, Para penyiar Islam tempo doeloe juga merangkap sebagai peniaga.
Mereka berdakwah sekaligus berdagang di wilayah yg mereka kunjungi. Perjalanan dakwah
dan berdagang masa itu menggunakan kapal layar. Terkadang butuh waktu
berbulan-bulan untuk mencapai sebuah wilayah. Kapal dagang berisikan barang
dagangan sekaligus alat tukar berupa emas, perak dan sebagainya. Tersebutlah
kisah seorang pendakwah dari Pasai yang juga peniaga menyinggahi Makasar,
ibukota Kesultanan Gowa. Pendakwah asal Pasai tersebut membuka pengajian di
mesjid kesultanan. Pengajian dihadiri oleh sultan dan keluarga istana beserta
rakyat umumnya.
Ketika pendakwah
sedang memberikan pengajian, datang salah seorang anggota rombongan yang
sekaligus anak buah kapal pendakwah. Dengan terengah-engah karena berlari ia
meminta izin untuk berbicara dengan pendakwah sebentar saja. Ia melaporkan
bahwa kapal mereka yang sedang ditambatkan di pelabuhan Makasar tenggelam
akibat hantaman ombak besar. Keadaan cuaca hari itu memang sedang kurang
bersahabat. Jika kapal tenggelam berarti pendakwah beserta rombongannya tidak
punya apa-apa lagi. Bagi mereka, kapal adalah segalanya. Kapal tidak hanya
sebagai alat transportasi tetapi juga merupakan kekayaan mereka. Kapal adalah
tumpuan dan kehidupan itu sendiri.
Sehabis
mendengarkan laporan anak buah kapal, pendakwah menekur sejenak. Ia menarik
nafas dalam-dalam lantas mengucapkan "alhamdulillah". Seisi mesjid
heran dan mereka saling bertanya satu sama lain. Mengapa gerangan guru mereka
membaca alhamdulillah yg bermakna pujian bagi Allah, padahal sedang ditimpa
kemalangan. Tidak lama berselang datang seorang utusan syahbandar mengabarkan
bahwa yang tenggelam bukan kapal milik pendakwah melainkan kapal lain di
sebelahnya. Sang guru pun membaca "Allahu akbar."
Murid-nya
bertanya kepada sang guru, apakah lafaz-lafaz tersebut sudah tepat waktu
pengucapannya?
Sang guru
memberikan pemahaman bahwa ia mengucapkan alhamdulillah bukan untuk mensyukuri
tenggelamnya kapal. Ketika diberitakan kapalnya tenggelam, sang guru menyoal
hati nuraninya sendiri; apakah sedih dan berduka dengan kehilangan segalanya?
Ternyata hatinya tidak sedih, tetap tenang dan ridha dengan ujian yg sedang
dialaminya. Lantas ia pun membaca alhamdulillah sebagai rasa syukur karena
hatinya tidak terlalu terpaut dan tertaut dengan harta. Begitu pula saat
diinformasikan bahwa kapalnya tidak tenggelam, sang guru pun membaca Allahu
akbar untuk membesarkan Allah agar jangan sampai membesarkan harta..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar