Kamis, 27 Maret 2014

Kisah-kisah Dakwah I



Menurut sejarah, Para penyiar Islam tempo doeloe juga merangkap sebagai peniaga. Mereka berdakwah sekaligus berdagang di wilayah yg mereka kunjungi. Perjalanan dakwah dan berdagang masa itu menggunakan kapal layar. Terkadang butuh waktu berbulan-bulan untuk mencapai sebuah wilayah. Kapal dagang berisikan barang dagangan sekaligus alat tukar berupa emas, perak dan sebagainya. Tersebutlah kisah seorang pendakwah dari Pasai yang juga peniaga menyinggahi Makasar, ibukota Kesultanan Gowa. Pendakwah asal Pasai tersebut membuka pengajian di mesjid kesultanan. Pengajian dihadiri oleh sultan dan keluarga istana beserta rakyat umumnya. 
Ketika pendakwah sedang memberikan pengajian, datang salah seorang anggota rombongan yang sekaligus anak buah kapal pendakwah. Dengan terengah-engah karena berlari ia meminta izin untuk berbicara dengan pendakwah sebentar saja. Ia melaporkan bahwa kapal mereka yang sedang ditambatkan di pelabuhan Makasar tenggelam akibat hantaman ombak besar. Keadaan cuaca hari itu memang sedang kurang bersahabat. Jika kapal tenggelam berarti pendakwah beserta rombongannya tidak punya apa-apa lagi. Bagi mereka, kapal adalah segalanya. Kapal tidak hanya sebagai alat transportasi tetapi juga merupakan kekayaan mereka. Kapal adalah tumpuan dan kehidupan itu sendiri.
Sehabis mendengarkan laporan anak buah kapal, pendakwah menekur sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam lantas mengucapkan "alhamdulillah". Seisi mesjid heran dan mereka saling bertanya satu sama lain. Mengapa gerangan guru mereka membaca alhamdulillah yg bermakna pujian bagi Allah, padahal sedang ditimpa kemalangan. Tidak lama berselang datang seorang utusan syahbandar mengabarkan bahwa yang tenggelam bukan kapal milik pendakwah melainkan kapal lain di sebelahnya. Sang guru pun membaca "Allahu akbar."
Murid-nya bertanya kepada sang guru, apakah lafaz-lafaz tersebut sudah tepat waktu pengucapannya?
Sang guru memberikan pemahaman bahwa ia mengucapkan alhamdulillah bukan untuk mensyukuri tenggelamnya kapal. Ketika diberitakan kapalnya tenggelam, sang guru menyoal hati nuraninya sendiri; apakah sedih dan berduka dengan kehilangan segalanya? Ternyata hatinya tidak sedih, tetap tenang dan ridha dengan ujian yg sedang dialaminya. Lantas ia pun membaca alhamdulillah sebagai rasa syukur karena hatinya tidak terlalu terpaut dan tertaut dengan harta. Begitu pula saat diinformasikan bahwa kapalnya tidak tenggelam, sang guru pun membaca Allahu akbar untuk membesarkan Allah agar jangan sampai membesarkan harta..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar