Rabu, 02 Mei 2012

Aqidah Ahlussunnah WalJamaah




AQIDAH AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH
Oleh: Samsul Bahri
A.    Aqidah dan Dimensi Pembelajarannya
Aqidah adalah Bahasa Arab  yang mempunyai sejumlah pengertian di antaranya adalah ikatan dan keyakinan ( i’tiqad). Ilmu Aqidah diberi pengertian sebagai ilmu yang menjelaskan tentang keyakinan atau i’tiqad yang benar tentang Allah. I’tiqad yang benar tentang Allah adalah meyakini secara sungguh-sungguh bahwa Allah Maha Esa. Atas dasar itu, Ilmu Aqidah dikenal juga dengan nama Ilmu Tauhid. Tauhid secara bahasa artinya Meng-Esakan Allah. Upaya peng-Esaan Allah dilakukan dengan cara menanamkan ke dalam jiwa seseorang sehingga terbentuk keyakinan atau i’tiqad yang mantap bahwa Allah benar-benar Maha Esa. Dari sini dapat dipahami bahwa Ilmu Aqidah dan Ilmu Tauhid mempunyai hakikat pengertian yang sama sekalipun disebutkan dengan ungkapan yang berbeda.
Pembahasan paling utama dalam Ilmu Aqidah adalah tentang keberadaan Allah. Allah benar-benar ada. Bukan dongeng dan bukan pula khayalan. Sebagian orang atheis tidak percaya bahwa Allah benar-benar ada. Orang Rusia dahulu ketika masih tergabung dalam negara Uni Sovyet menolak keberadaan Allah. Alasannya, mereka mengaku pernah mendarat di bulan dan tidak merasa bertemu dengan Allah.
Seorang dosen muda yang baru pulang dari Eropa pernah menantang untuk menunjukkan di mana Tuhan itu berada. Dosen itu lalu ditempeleng oleh koleganya, sambil ditanyakan, tunjukkan di mana sakit.
Bukti keberadaan Allah sangat banyak. Para ahli mengajukan sejumlah argument mengenai keberadaan Allah. Satu di antaranya adalah argument alam semesta. Alam semesta adalah fenomena faktual, semua orang tahu dan yakin bahwa alam semesta dengan segala isinya ada di depan mata. Tidak ada seorang pun yang meragukan keberadaan alam. Kenyataan ini menunjukkan bahwa jika alam semesta ada, berarti mesti ada pula yang mengadakannya. Bukankah menurut logika –yang sangat sederhana sekalipun- bahwa tidak mungkin ada suatu benda tanpa diadakan? Bukankah baju yang kita pakai itu ada yang mengadakannya? Bukankah peci yang kita kenakan tidak mungkin ada dengan sendirinya? Jika benda-benda kecil seperti kancing baju saja, tidak mungkin terjadi sendiri, maka logika manakah yang akan menyimpulkan bahwa alam terjadi dengan sendirinya?
Alam semesta yang dipahami dan diyakini ada oleh setiap logika sehat itu berfungsi secara teratur. Matahari dan bulan beredar pada porosnya. Bumi berputar dengan kadar waktu tertentu. Pergantian siang dan malam terjadi dengan sangat teratur.
لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ(40)
Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Q.S.Yasin: 40).
            Keteraturan ini tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi mesti ada yang mengaturnya. Pengaturnya pun mesti sangat hebat dan perkasa sehingga dipatuhi oleh setiap unsur yang diatur. Siapakah pengatur jagad raya alam semesta yang sangat perkasa itu? Itulah Allah yang kita imani keberadaannya.
            Allah yang Maha Perkasa dan berkuasa dalam mengatur alam semesta itu mesti tunggal, tidak boleh lebih dari satu. Jika yang mengatur alam semesta itu lebih dari satu, maka akan terjadi perebutan pengaruh dalam pengaturan yang berujung kepada pertentangan antar pengatur. Bukankah saboh jalo hanjeut dua keumudo, saboh nanggroe hanjeut dua raja? Allah yang kita imani ada dan perkasa itu mesti pula Esa.
            Dalam al-Qur'an ditemukan sejumlah ayat yang menegaskan tentang ke-Esaan Allah. Dua di antaranya adalah sebagai berikut:
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ(163)
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Baqarah: 163).
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ(1)
Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, (Q.S.al-Ikhlash: 1)

            Dalam ayat 163 Surah al-Baqarah, Allah ditegaskan sebagai Tuhan Yang Maha Esa dengan menggunakan ungkapan wahid. Sementara itu dalam surah al-Ikhlash, Ke-Esaan Allah dilafalkan dengan ungkapan Ahad. Apa perbedaan di antara keduanya?
            Wahid bermakna bahwa Allah Maha Esa, tidak ada sandingan dan bandingan serta tandingannya dengan apapun, di manapun dan kapanpun. Hanya satu-satunya, tidak ada duanya. Inilah rahasia penggandengan sifat al-Rahman dan al-Rahim di ujung ayat di atas. Seakan-akan Allah menegaskan bahwa diri-Nya yang Esa itu memang tidak ada taranya, akan tetapi sifat-Nya tidak semena-mena. Sekalipun Allah sangat hebat dan memiliki kekuasaan tak terbatas itu, tetap saja sangat Pengasih dan Penyayang. Pelajarannya bagi kita adalah; boleh jadi ada di antara kita menjadi penguasa tertinggi di suatu wilayah, atau di sebuah kota, atau dalam suatu instansi tertentu di mana kekuasaan kita tak tertandingi oleh orang lain; maka janganlah semena-mena. Utamakan kasih dan saying terhadap orang-orang yang tidak sehebat dengan kita.
            Akan halnya ke-Esaan Allah yang dilafalkan dengan ungkapan Ahad bermakna bahwa Allah tunggal dalam arti yang hakiki; tidak terdiri atas unsur-unsur pembentuknya; tidak mempunyai bagian-bagian; tidak ada daging, tulang, atau urat misalnya, tidak ada jasmani dan rohaninya. Setiap sesuatu yang terdiri atas unsur-unsur, maka setiap unsur pembentuknya itu memiliki kebutuhan dan ketergantungan. Sebagai contoh, manusia yang terdiri atas jasmani dan rohani. Baik jasmani manusia, maupun rohaninya membutuhkan banyak hal seperti makanan, minuman, udara, cuaca, suhu, kelembaban, ketenangan, kenyamanan, dan sebagainya. Sedangkan Allah tidak butuh kepada apapun karena diri-Nya tidak terdiri atas bagian-bagian. Inilah rahasia penggandengan ayat ini dengan ayat berikutnya:
اللَّهُ الصَّمَدُ(2)
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Maknanya, Allah tidak memiliki kebutuhan dan ketergantungan, tetapi justeru kepada-Nya lah segala sesuatu bergantung. Pelajaran penting dalam kaitan ini adalah; jangan pernah menggantungkan harapan kepada selain Allah, karena semua yang selain Allah itu memiliki ketergantungan. Pada saat kita menggantungkan harapan kepada seseorang misalnya, maka sekurang-kurangnya orang tersebut punya ketergantungan tertentu pada saat memenuhi harapan kita. Boleh jadi ia bersedia memenuhi harapan kita, namun ia sesungguhnya juga berkepentingan dalam bentuk lainnya pada saat memenuhi harapan kita. Lihatlah betapa banyak orang yang dermawan, padahal target jangka panjangnya adalah untuk meraih kursi anggota dewan. Tidak sedikit kita temukan orang yang gemar membagi harta, namun tidak lama kemudian ia juga minta untuk dipilih saat PILKADA.
B.     Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan Prinsip-prinsip Ajarannya.
Ahl secara bahasa adalah pemilik atau pengikut. Sunnah adalah segala hal yang disandarkan kepada Rasulullah saw. baik berupa perkataan, perbuatan maupun persetujuan.  Ahlussunnah dengan demikian dapat dipahami sebagai orang-orang yang mengikuti ajaran yang dibawa oleh Rasulullah  dengan mempedomani ucapan, perbuatan maupun persetujuan Beliau.
Jama'ah adalah sekelompok orang banyak; sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan.  Jama'ah juga berarti kaum yang bersepakat dalam suatu masalah. Terma Jama’ah yang dimaksudkan di sini yaitu kelompok kaum muslimin yang merupakan pendahulu ummat ini dari kalangan para sahabat, tabi'in dan orang-orang yang mengikuti jejak kebaikan mereka sampai hari kiamat; di mana mereka tetap teguh  menjaga persatuan umat dalam mengamalkan segala hal yang bersumber dari Rasulullah. Aqidah Ahlussunnah Waljama’ah didasarkan pada enam prinsip berikut;
1.    Prinsip Pertama; Mengimani Enam Rukun Iman
a.       Iman kepada Allah
Melalui Rukun Iman yang pertama kita membangun keyakinan tentang Allah. Allah mesti diyakini benar-benar ada. Dalil atau argumen mengenai keberadaan Allah sesungguhnya amat banyak. Keberadaan alam semesta merupakan salah satu dalil yang sangat kuat untuk membuktikan keberadaan Allah. Setiap benda yang ada di sekitar kita tidak mungkin terjadi dengan sendirinya tanpa pembuatnya. Sesederhana apapun benda-benda tersebut, tetap tidak bisa terjadi sendiri. Semuanya mesti ada yang menjadikannya, dan yang menjadikannya itu adalah sesuatu yang sangat berkuasa yaitu Allah.
Benda-benda di alam semesta ini sangat banyak. Benda-benda tersebut bergerak serta mengalami perubahan dan perkembangan. Gerakan, perubahan dan perkembangannya itu berlangsung secara teratur. Keteraturan dimaksud bukan terjadi dengan sendirinya, melainkan karena ada yang mengaturnya. Pengatur gerakan, perubahan dan perkembangan di alam semesta sangat berkuasa sehingga aturan-aturannya itu dipatuhi oleh semua unsur alam semesta. Sang Pengatur itu adalah Allah.
Allah mengatur alam semesta sendirian. Allah tidak membutuhkan teman dan sekutu dalam pengaturan alam. Allah sangat berkuasa untuk mengaturnya sendirian. Atas dasar itu, semua aturan-aturannya itu selalu terwujud karena yang menentukannya adalah diri-Nya sendiri. Seandainya ada pengatur lain yang ikut serta, maka alam semesta akan mengalami kekacauan akibat banyak pengatur. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah dalam surah al-Anbiya: 22;
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ
Artinya:   Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu langit dan bumi telah binasa. Maha Suci Allah yang Memiliki Arasy, dari apa yang mereka sifatkan.
b.      Iman kepada Malaikat
Malaikat adalah makhluk Allah yang berbentuk spiritual. Jasad malaikat tidak berbentuk tubuh kasar dan material seperti tubuh manusia. Malaikat diciptakan Allah dari cahaya. Hal ini didasarkan pada salah satu hadis riwayat Imam Muslim berikut;
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُلِقَتْ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ
Artinya: Dari ‘Aisyah berkata; Rasulullah saw. bersabda: “Malaikat diciptakan dari nur (cahaya), jin diciptakan dari bara api dan Adam diciptakan dari tanah.

Oleh karena tubuhnya tidak berbentuk kasar, maka malaikat mempunyai kemampuan bergerak sangat cepat. Malaikat juga dianugerahi Allah kemampuan untuk berubah bentuk dalam waktu singkat, serta memiliki tenaga yang sangat kuat. Jumlah malaikat sangat banyak dan tidak diketahui secara pasti oleh manusia. Sekalipun jumlahnya sangat banyak, malaikat tidak membutuhkan ruang dan tempat karena jasadnya dalam bentuk spiritual.
c.       Iman kepada Kitab-kitab Allah
Melalui rukun iman yang ketiga, seorang mukmin meyakini bahwa Allah benar-benar telah menurunkan sejumlah kitab suci kepada manusia sepanjang sejarah kehidupan mereka. Kitab-kitab suci tersebut berisikan petunjuk Allah yang dapat memandu kehidupan manusia. Keberadaan kitab-kitab suci itu sebagai bagian dari perwujudan kasih sayang Allah terhadap manusia. Allah mencintai hamba-hamba-Nya. Dari kecintaan tersebut, Allah menganugerahkan sejumlah nikmat yang dapat dimanfaatkan oleh manusia.
Nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah sangat banyak dan beragam. Allah menganugerahi nikmat perlengkapan hidup untuk makhluk-makhluknya, termasuk manusia. Nikmat perlengkapan hidup berupa kelengkapan anggota tubuhnya yang terdiri atas sekurang-kurangnya dua bagian; jasmani dan rohani. Jasmani manusia terdiri atas bermacam-macam bagian; kepala, leher, tangan kaki, mata, telinga, mulut, hidung dan sebagainya. Semua bagian tersebut sangat bermanfaat bagi manusia. Demikian pula halnya dengan rohani manusia, tentu mempunyai bagian-bagian tersendiri.
Setelah menganugerahkan nikmat perlengkapan hidup, Allah juga memberikan nikmat perbekalan hidup untuk manusia. Perbekalan hidup terdiri atas unsur-unsur alam yang dapat dimanfaatkan sebagai makanan, minuman dan udara yang dihirup oleh manusia. Manusia sangat tergantung hidupnya dengan nikmat perbekalan hidup tersebut. Oleh karena itu manusia menggunakannya setiap saat.
Nikmat lainnya yang dianugerahkan Allah untuk manusia adalah nikmat pedoman hidup. Nikmat pedoman hidup sangat penting dalam rangka menjadi panduan bagi kehidupan manusia. Tanpa keberadaan nikmat ini, kehidupan manusia tidak terarah. Manusia akan mengalami disorientasi di dalam kehidupannya. Nikmat pedoman hidup yang dianugerahkan Allah di antaranya adalah ajaran agama yang diturunkan melalui pewahyuan kitab-kitab suci. Kitab-kitab suci dengan demikian adalah bagian dari nikmat Allah yang sangat dibutuhkan oleh manusia  
d.      Iman kepada Rasul-rasul Allah
Rasul dan Nabi merupakan dua ungkapan Bahasa Arab yang secara bahasa mempunyai arti yang berkaitan. Rasul secara bahasa artinya utusan, sedangkan Nabi berarti penyampai  berita atau pembawa informasi. Dari pengertian kebahasaan dapat diketahui kaitan pengertian di antara keduanya; bahwa utusan bisa dikaitkan dengan seseorang yang membawa berita. Sebaliknya, orag yang menyampaikan berita tentu diutus oleh pihak tertentu sehingga berposisi sebagai utusan.
Para ulama memberikan sejumlah definisi rasul sekaligus membedakannya dengan nabi. Definisi yang paling kuat di antaranya dikemukakan dalam sebuah karya bidang aqidah yang ditulis oleh sekelompok ulama Arab Saudi.[1] Di dalam buku tersebut dijelaskan bahwa nabi adalah orang yang mendapatkan wahyu dari Allah untuk diamalkan sendiri dan diajarkan kepada orang-orang yang beriman lainnya. Sementara itu, rasul adalah orang yang mendapatkan wahyu dari Allah dan ditugaskan untuk menyampaikannya kepada orang-orang kafir agar mereka menjadi orang-orang yang beriman.
Atas dasar pengertian tersebut, nabi berbeda dengan rasul dalam hal tugas dan kewenangannya. Nabi hanya ditugaskan untuk menyampaikan risalah Allah kepada orang yang memang sudah mengimani kebenarannya, sedangkan rasul mempunyai tugas yang lebih berat. Tugas rasul adalah menyampaikan risalah Allah kepada orang yang beriman serta orang kafir. Rasul mesti berposisi juga sebagai nabi karena ia menyampaikan dakwahnya tidak hanya kepada orang-orang kafir saja. Rasul tetap menyampaikan risalah kepada orang-orang yang sudah beriman. Berbeda halnya dengan nabi, yang tidak secara otomatis berposisi sebagai rasul. Tugas nabi hanya menyampaikan dakwah kepada orang-orang yang beriman saja. Dengan demikian dapat dipahami bahwa semua rasul adalah nabi dan tidak semua nabi tergolong rasul.
Dalam melaksanakan tugasnya, rasul terkadang menghadapi ancaman dan tantangan dari orang-orang kafir. Dalam keadaan seperti ini rasul tidak ditugaskan untuk memberantas dan memerangi orang kafir. Rasul hanya diperintahkan untuk menyampaikan dakwah, dan dalam batas-batas tertentu harus mempertahankan diri dan melindungi orang-orang yang sudah beriman.
e.       Beriman kepada Hari Akhirat
Beriman kepada hari akhirat artinya meyakini bahwa alam semesta ini suatu saat nanti akan dimusnahkan oleh Allah. Semua makhluk hidup dimatikan saat itu sehingga tidak ada yang tersisa selain Allah. Setelah itu Allah menciptakan alam baru yang berbeda sifat dan keadaannya. Manusia akan dibangkitkan dan dihidupkan kembali untuk diadili dan diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya selama hidup di dunia. Kehidupan yang kedua ini merupakan kehidupan yang hakkiki dan abadi. Tidak ada lagi kematian sesudah itu. Barangsiapa yang melakukan perbuatan baik selama hidupnya maka akan mendapatkan balasan kenikmatan berupa surga dan kekal di dalamnya. Sebaliknya, orang-orang kafir akan disiksa dalam neraka selamanya. Hari akhirat adalah hari yang tidak ada hari lagi sesudahnya. Itulah hari terakhir. Tidak ada lagi pergantian hari sejak saat itu. Oleh karenanya tidak akan ada lagi perubahan. Semuanya berlangsung dalam keabadian.
Beriman kepada hari akhirat adalah mengetahui dan meyakini secara mendetail setiap peristiwa sesudah kematian sebagaimana dijelaskan di dalam al-Qur’an dan hadis. Peristiwa-peristiwa dimaksud adalah sebagai berikut;
1). Nikmat dan Azab di Alam Barzakh
2). Tiupan sangkakala
3). Kebangkitan
4). Penghimpunan, Penghitungan Amal dan Pembalasan
5). Syafa’at
6). Shirath
7). Qintharah (Tempat Berhenti antara Surga dan Neraka).
8). Haudh (Telaga di Pintu Surga)
9). Surga dan Neraka.

f.       Iman kepada Qadar Baik dan Buruk
Qadar secara bahasa adalah ukuran dan ketentuan. Salah satu pengertian qadar yang diberikan ulama adalah ketentuan Allah yang bersifat azali yang didasarkan pada pengetahuan-Nya tentang semua persoalan yang akan terjadi. Qadha secara bahasa artinya keputusan dan ketetapan. Qadha diberikan definisi secara syar’i sebagai keputusan dan ketetapan Allah terhadap seluruh makhluknya baik dalam mengadakan, meniadakan, atau mengubahnya.
Dari pengertian-pengertian ini dapat dipahami bahwa qadar mempunyai arti yang berbeda dengan qadha. Qadar adalah menentukan suatu hal sebelum hal itu terjadi. Sementara itu, qadha adalah realisasi ketentuan tersebut di alam semesta. Qadar dengan demikian lebih dahulu ada dibandingkan qadha. Qadar Allah bersifat azali dan sudah ada sebelum penciptaan alam semesta, sementara qadha adalah kejadian-kejadian di alam semesta atas dasar qadar.
Meskipun qadar dan qadha mempunyai pengertian yang berbeda, namun kedua hal ini tidak dapat dipisahkan. Qadha selalu menyatu dengan qadar. Apabila seseorang menyebutkan qadar tanpa menyebutkan qadha, maka pengertiannya tertuju kepada keduanya. Begitu pula sebaliknya, jika qadha yang disebutkan, maka pengertiannya mencakup qadha dan qadar. Pengertian qadha baru dianggap berbeda dengan qadar jika keduanya disebutkan secara tersendiri dalam waktu bersamaan. Perbedaannya adalah seperti yang sudah diuraikan di atas; bahwa qadar merupakan ketentuan yang bersifat azali, sedangkan qadha adalah perwujudan ketentuan tersebut di alam semesta.
Qadar ditetapkan oleh Allah melalui empat urutan.
1). Urutan pertama qadar adalah berupa ilmu Allah terhadap segala sesuatu yang ada atau tiada, yang mungkin ada atau mustahil ada. Pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu; baik yang telah ada maupun yang akan ada; serta bagaimana proses keberadaannya. Allah adalah Maha Tahu. Tidak ada yang tidak diketahui Allah. Allah Maha Mengetahui apa yang terjadi pada makhluk-Nya. Allah Maha Mengetahui terhadap isi alam; baik secara keseluruhannya mapun satuan-satuannya. Allah Maha Mengetahui setiap daun dari seluruh pepohonan di alam semesta; kapan masing-masing daun itu tumbuh, berkembang, tua, layu dan kering, kapan ia gugur serta bagaimana cara daun itu melayang pada saat gugur ke tanah. Pengetahuan Allah juga meliputi kehidupan manusia; kapan lahir, tumbuh, berkembang, bagaimana bentuk perkembangannya, tua, mati, bagaimana cara mati dan seterusnya. Allah mengetahui semua itu karena diri-Nya adalah Maha Tahu.
2). Urutan kedua qadar adalah pencatatan semua pengetahuan Allah di Lauh al-Mahfuz. Semua yang ada, akan ada, mungkin ada, mustahil ada, dan seterusnya yang diketahui oleh Allah itu selanjutnya dicatat atau ditulis secara rinci. Catatan ini bersifat rahasia ; tidak ada yang mampu mengetahuinya kecuali Allah. Malaikat tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada alam semesta. Malaikat Izrail misalnya, baru mengetahui kematian seseorang sesudah Allah memerintahkannya mencabut nyawa orang tersebut. Perintah itu mesti langsung ditunaikan sehingga tidak berjarak antara perintah dengan pekerjaan. Makhluk Allah yang lain juga tidak ada yang mengetahui isi catatan Allah di Lauh Mahfuz itu. Oleh karena itu, barangsiapa yang mengaku mengetahui nasib seseorang melalui ramalan dan sebagainya, sesungguhnya ia telah membuat kebohongan besar. Nasib manusia ada dalam bentuk catatan di Lauh Mahfuz, dan hanya Allah yang mengetahuinya.
3). Urutan ketiga qadar Allah adalah berwujud masyi’ah (kehendak) Allah. Kehendak Allah terjadi berdasarkan catatan di Lauh mahfuz; dan catatan di Lauh mahfuz itu berdasarkan pengetahuan Allah terhadap segala sesuatu. Kehendak Allah akan mewujudkan berbagai kejadian di alam semesta. Tanpa kehendak-Nya, tidak ada kejadian apapun.
4). Urutan keempat qadar adalah perbuatan Allah terhadap segala sesuatu berdasarkan kehendak-Nya. Kehendak-kehendak Allah berwujud dalam bentuk perbuatan-perbuatan-Nya terhadap alam semesta. Perbuatan itu mencakup pengadaan, peniadaan, penambahan dan pengurangan. Allah yang mengadakan apapun dan Allah pula yang meniadaknnya. Allah yang menambah dan mengembangkan sesuatu, dan Allah pula yang menguranginya.
2. Prinsip Kedua: Mendefinisikan Iman sebagai Tashdiq, Iqrar dan Amal
3. Prinsip ketiga: Tidak Mengkafirkan Sesama Muslim
4. Prinsip Keempat: Taat kepada Pemimpin
5. Prinsip Kelima: Melarang Bughah (Memberontak terhadap Pemimpin Muslim)
6. Prinsip Keenam; Membenarkan Keberadaan Karamah Para Wali


[1]Tim Penulis, Ushul al-Iman fi Dhau’i al-Kitab wa al-Sunnah, h.201.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar