Sabtu, 12 Mei 2012

PEMIMPIN JUJUR

PEMIMPIN YANG JUJUR DALAM ISLAM

            Kejujuran sering dipandang berlawanan dengan kebohongan. Orang jujur semakna dengan orang tidak bohong, sedangkan pembohong dianggap searti dengan orang tidak jujur. Kejujuran lahir dari keimanan, sedangkan kebohongan tumbuh dari kekufuran. Perhatikanlah firman Allah swt. berikut, yang artinya:
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ أُولَئِكَ هُمُ الصِّدِّيقُونَ وَالشُّهَدَاءُ عِنْدَ رَبِّهِمْ لَهُمْ أَجْرُهُمْ وَنُورُهُمْ وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ(19)
Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang siddiqun dan saksi di sisi Tuhan mereka. Mereka berhak mendapat pahala dan cahaya. Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni-penghuni neraka. (Q.S. al-Hadid: 19).

            Dalam ayat al-Qur'an di atas, orang yang mengimani Allah dan rasul-Nya diidentifikasi sebagai orang siddiqun dan syuhada'. Siddiqun mempunyai beberapa arti, salah satunya menurut Qurtubi adalah huwa al-ladzi yuhaqqiqu bi fi'lihi ma yaqulu bi lisanihi; orang yang seiring antara perkataan dan perbuatannya. Itulah yang disebut sebagai orang jujur.
Kejujuran merupakan modal paling prinsip dan mendasar bagi seseorang untuk mencapai kejayaan dan kesuksesan. Sebaliknya, kebohongan adalah jalan utama yang bakal mengantarkan manusia menuju kehancuran dan kebinasaan. Secara sederhana dapat dicontohkan, pedagang jujur boleh jadi memperoleh untung yang tidak terlalu besar di dalam usahanya. Namun, keuntungan tersebut bersifat permanen, berkesinambungan dalam masa yang sangat panjang. Sementara itu, pedagang yang bohong mungkin saja memperoleh keuntungan berlipat melalui kecurangan yang dipraktekkannya. Akan tetapi, keuntungan tersebut hanya sebentar, sebelum orang mengetahui kecurangannya. Setelah kecurangannya tersingkap, orang-orang akan meninggalkannya, tidak ada lagi yang mempercayainya.
Keuntungan yang bersifat duniawi saja susah diperoleh oleh orang-orang bohong, apalagi dengan kebahagiaan ukhrawi. Tidak aneh kiranya jika kita baca sebuah riwayat dari Abdullah yang melaporkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ كَذَّابًا
Sesungguhnya kejujuran akan menunjukkan (jalan) manusia menuju kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan (jalan) manusia menuju surga. Seseorang sungguh akan berlaku jujur sehingga dicatat sebagai orang jujur. Sesungguhnya kebohongan akan menunjukkan (jalan) manusia menuju kecurangan, dan kecurangan akan menunjukkan (jalan) menuju neraka. Seseorang akan mempraktekkan kebohongan sampai ia ditulis sebagai pembohong. (H.R. Bukhari dan Muslim).

            Apa yang kita sampaikan di atas baru merupakan kejujuran perorangan. Kejujuran yang dituntut keberadaannya pada setiap orang. Kejujuran terlebih-lebih diharapkan lagi ada pada pemimpin. Pemimpin yang jujur sangat diharap, selalu dinantikan oleh rakyat, senantiasa didambakan seluruh umat.
Ubaydullah ibn Ziyad menjenguk Ma'qil ibn Yasar al-Muzaniy yang terbaring sakit. Dalam kondisi yang sangat kritis menjelang ajalnya, Ma'qil merasa harus menyampaikan sebuah hadis yang didengarnya dari Rasulullah saw. bahwa: "Siapapun yang dipercayakan sebagai pemimpin meninggal dunia sementara ia masih berbohong kepada rakyatnya, maka Allah mengharamkannya memperoleh surga." (H.R. Muslim).

Kebohongan dapat berupa perkataan dan ucapan, bisa pula dalam bentuk sikap serta kebijakan. Seorang pemimpin yang terus menerus mengkampanyekan keberhasilan dan kemajuan selama kepemimpinannya, padahal justeru mengalami kemunduran, maka pemimpin itu sudah melakukan kebohongan. Apabila ada pemimpin yang sering mengungkapkan bahwa dirinya anti korupsi, tidak menerima sogokan dan pungli, padahal kekayaannya selama menjadi pemimpin bertambah berlipat ganda jauh melebihi gaji yang dibayarkan kepadanya, itu juga pemimpin yang tidak jujur. Seandainya seseorang sebelum terpilih menjadi pemimpin mengkampanyekan diri anti KKN, lalu sesudah memimpin mengangkat kerabat, dan orang-orang dekat sebagai pejabat, juga merupakan pemimpin yang bohong. Prilaku korupsi, kolusi, nepotisme, pungli, sogok menyogok adalah kejahatan tingkat tinggi yang apabila dilakukan oleh seseorang menyebabkannya memikul dosa besar. Selanjutnya, mengklaim diri sebagai orang yang tidak melakukan kejahatan-kejahatan tersebut, padahal ia bergelimang di dalamnya adalah berbohong, yang juga merupakan kejahatan tingkat tinggi. Ini berarti, orang tersebut melakukan dosa ganda.
Kejujuran seorang pemimpin tidak hanya diharapkan berada pada ucapan dan perkataannya. Sejak dari niat dan motivasi, sampai kepada sikap dan kebijakan yang dilakukan seorang pemimpin mesti didasari pada kejujuran. Para kontestan yang bakal maju dalam PILKADA; masih ada kesempatan untuk menyoal diri; jujurkah niat kita merebut kursi kepemimpinan untuk membangun bangsa, bukan mencari kekayaan dan ketenaran? Kalau jawabannya untuk membangun bangsa, relakah kita untuk tidak menjadi kaya? bersediakah kita untuk hidup sederhana, rumah sederhana dan kenderaan dinas yang sederhana? Jika jawabannya untuk memperoleh kekayaan dan ketenaran, sebaiknya silahkan mundur teratur. Tidak ada yang perlu diperebutkan kecuali api neraka.
Para pejabat yang sedang menjalankan tugas juga belum terlalu terlambat untuk menyoali diri; sudah sekaya apakah kita selama menjabat? Seberapa besar pendapatan selain gaji yang sudah kita nikmati? Tidak ingatkah kita bahwa Rasulullah yang mulia bersabda;
Siapapun yang kami tugaskan dalam suatu jabatan, maka kami bayar (dari harta negara). Apapun yang diterima selain (yang kami bayar) itu, disebut sebagai korupsi.(H.R. Abu Daud)

Seharusnya kita sangat takut menjadi pemimpin yang tidak jujur, karena ketidakjujuran pasti berujung pada  kesalahan dan kejahatan. Perhatikanlah sabda Rasulullah saw. yang mengidentifikasi pemimpin tidak jujur sebagai salah satu komponen manusia yang diabaikan keberadaannya oleh Allah di hari akhirat. Pengabaian lebih bermakna sebagai salah satu bentuk siksaan yang dikenakan kepada orang-orang tersebut. Allah tidak memperhatikan mereka karena begitu besarnya dosa mereka. Jika di hari akhirat, seseorang tidak diperhatikan oleh Allah, perhatian siapa lagi yang bisa diharap?
Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda: tiga (macam) orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat adalah orang tua yang penzina, orang miskin yang sombong dan pemimpin yang bohong. (H.R. al-Nasa'iy)

Ketiga macam orang yang disebutkan di dalam sabda suci Rasulullah di atas karena ketidakpantasan orang-orang tersebut bersikap demikian. Orang yang sudah tua tidak sepantasnya menjadi penzina karena ketuaannya. Seharusnya ia mampu menjaga diri, sanggup mengendalikan dorongan nafsunya, serta berposisi sebagai sosok yang bisa diteladani oleh anak dan cucunya. Orang miskin sombong juga demikian, sangatlah tidak patut terjadi. Tidak ada sesuatu apapun yang dapat ia andalkan untuk menyombongkan dirinya karena kemiskinannya. Begitu pula halnya dengan pemimpin; sungguh tidak wajar menjadi pembohong. Bukankah bohong sering dijadikan sebagai benteng terakhir bagi seseorang untuk melindungi dan mempertahankan diri. Bohong digunakan untuk menutupi kesalahan dan kelemahan para pengecut. Seorang pemimpin sejatinya adalah pemberani, bukan pengecut, bukan orang yang menutup-nutupi kesalahan dengan cara berbohong. Bohong tidak pantas dimiliki oleh seorang pemimpin.
Sejarah menceritakan berulang-ulang kepada kita begitu banyak para penguasa yang jujur yang dimuliakan dan diagung-agungkan. Nama mereka disebut-sebut sekalipun telah lama mangkat. Mereka dirindukan dalam kenangan-kenangan indah. Kemuliaan mereka hadir di dalam pujian dan doa-doa. Tidak sedikit pula ada sejumlah orang yang diberi kesempatan oleh sejarah untuk menjadi pemimpin dan penguasa. Mereka bohong dan curang. Nama mereka tidak pernah diabadikan dalam kenangan dan ingatan. Kalau hari ini mereka disembah dan dimuliakan, esok kembali dilecehkan. Semasa menjabat, orang-orang begitu hormat, dan setelah pensiun mereka disepelekan. Hujatan dan kecaman sangat sering dilakukan kepada mantan penguasa yang tidak jujur.
Jika demikian halnya, ingin bagaimanakah kita sesungguhnya? Hadirin yang hadir di majelis ini semua mempunyai peluang dan kesempatan untuk menjadi pemimpin. Bukankah secara gamblang Rasulullah saw. menyatakan bahwa semua orang adalah pemimpin? Ada yang menjadi pemimpin negara atau sebuah bangsa, ada pula di antaranya yang akan memimpin wilayah, daerah, kota, kecamatan, kelurahan dan desa. Ada di antara kita yang sudah, atau bakal menjadi pemimpin organisasi, ada pula yang memimpin instansi, atau memimpin unit-unit kecil lainnya seperti keluarga dan rumah tangga. Dalam konteks ini, tidakkah kita ingin menjadi orang yang disenangi semasa hidup dan dikenang setelah meninggal dunia? Atau sebaliknya, kita ingin ditakuti saat masih memimpin, lalu dikecam setelah turun jabatan dan dihujat sepeninggal kita? Pilihannya hanya dua; akankah kita menjadi pemimpin jujur atau pembohong?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar