Sabtu, 12 Mei 2012

Prinsip Dasar Tauhid




            Suatu hal yang paling membedakan Islam dengan agama lainnya adalah ketersediaan ruang berpikir di dalamnya yang sangat leluasa. Ketersediaan dimaksud tidak hanya berkenaan dengan masalah-masalah duniawiah manusia, tetapi juga bersentuhan dengan ajaran yang paling prinsip dan mendasar, yaitu masalah keimanan. Keimanan di dalam Islam bukan hanya sebagai sistem keyakinan, tetapi juga sistem keilmuan. Ilmu yang secara khusus membahas tentang keimanan dikenal dengan Ilmu Tauhid.
Ilmu Tauhid secara sederhana dapat diartikan sebagai ilmu yang membicarakan tentang cara menetapkan keyakinan di dalam agama dengan mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan, baik dalil naqli, aqli, maupun wijdani. Ada tiga kategori bahasan dalam Ilmu Tauhid. Pertama, bahasan tentang keberadaan Allah. Kedua, bahasan mengenai ke-Esaan Allah. Ketiga, bahasan tentang keniscayaan memperhambakan diri kepada Allah. Mari kita cermati satu persatu.
Allah dijelaskan di dalam Ilmu Tauhid mesti ada. Keberadaan Allah selanjutnya harus dibuktikan dengan sangat nyata sehingga tidak akan pernah dapat dibantah. Para ahli mengajukan sejumlah argument untuk membuktikan keberadaan Allah. Satu di antaranya adalah argument alam semesta. Alam semesta adalah fenomena faktual, semua orang tahu dan yakin bahwa alam semesta dengan segala isinya ada di depan mata. Tidak ada seorang pun yang meragukan keberadaan alam. Kenyataan ini menunjukkan bahwa jika alam semesta ada, berarti mesti ada pula yang mengadakannya. Bukankah menurut logika –yang sangat sederhana sekalipun- bahwa tidak mungkin ada suatu benda tanpa diadakan? Bukankah baju yang kita pakai itu ada yang mengadakannya? Bukankah peci yang kita kenakan tidak mungkin ada dengan sendirinya? Jika benda-benda kecil seperti kancing baju saja, tidak mungkin terjadi sendiri, maka logika manakah yang akan menyimpulkan bahwa alam terjadi dengan sendirinya?
Alam semesta yang dipahami dan diyakini ada oleh setiap logika sehat itu berfungsi secara teratur. Matahari dan bulan beredar pada porosnya. Bumi berputar dengan kadar waktu tertentu. Pergantian siang dan malam terjadi dengan sangat teratur.

لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ(40)
Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Q.S.Yasin: 40).
            Keteraturan ini tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi mesti ada yang mengaturnya. Pengaturnya pun mesti sangat hebat dan perkasa sehingga dipatuhi oleh setiap unsur yang diatur. Siapakah pengatur jagad raya alam semesta yang sangat perkasa itu? Itulah Allah yang kita imani keberadaannya.
            Allah yang Maha Perkasa dan berkuasa dalam mengatur alam semesta itu mesti tunggal, tidak boleh lebih dari satu. Jika yang mengatur alam semesta itu lebih dari satu, maka akan terjadi perebutan pengaruh dalam pengaturan yang berujung kepada pertentangan antar pengatur. Bukankah saboh jalo hanjeut dua keumudo, saboh nanggroe hanjeut dua raja? Allah yang kita imani ada dan perkasa itu mesti pula Esa.
            Dalam al-Qur'an ditemukan sejumlah ayat yang menegaskan tentang ke-Esaan Allah. Dua di antaranya adalah sebagai berikut:
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ(163)
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Baqarah: 163).

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ(1)
Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, (Q.S.al-Ikhlash: 1)

            Dalam ayat 163 Surah al-Baqarah, Allah ditegaskan sebagai Tuhan Yang Maha Esa dengan menggunakan ungkapan wahid. Sementara itu dalam surah al-Ikhlash, Ke-Esaan Allah dilafalkan dengan ungkapan Ahad. Apa perbedaan di antara keduanya?
            Wahid bermakna bahwa Allah Maha Esa, tidak ada sandingan dan bandingan serta tandingannya dengan apapun, di manapun dan kapanpun. Hanya satu-satunya, tidak ada duanya. Inilah rahasia penggandengan sifat al-Rahman dan al-Rahim di ujung ayat di atas. Seakan-akan Allah menegaskan bahwa diri-Nya yang Esa itu memang tidak ada taranya, akan tetapi sifat-Nya tidak semena-mena. Sekalipun Allah sangat hebat dan memiliki kekuasaan tak terbatas itu, tetap saja sangat Pengasih dan Penyayang. Pelajarannya bagi kita adalah; boleh jadi ada di antara kita menjadi penguasa tertinggi di suatu wilayah, atau di sebuah kota, atau dalam suatu instansi tertentu di mana kekuasaan kita tak tertandingi oleh orang lain; maka janganlah semena-mena. Utamakan kasih dan saying terhadap orang-orang yang tidak sehebat dengan kita.
            Akan halnya ke-Esaan Allah yang dilafalkan dengan ungkapan Ahad bermakna bahwa Allah tunggal dalam arti yang hakiki; tidak terdiri atas unsur-unsur pembentuknya; tidak mempunyai bagian-bagian; tidak ada daging, tulang, atau urat misalnya, tidak ada jasmani dan rohaninya. Setiap sesuatu yang terdiri atas unsur-unsur, maka setiap unsur pembentuknya itu memiliki kebutuhan dan ketergantungan. Sebagai contoh, manusia yang terdiri atas jasmani dan rohani. Baik jasmani manusia, maupun rohaninya membutuhkan banyak hal seperti makanan, minuman, udara, cuaca, suhu, kelembaban, ketenangan, kenyamanan, dan sebagainya. Sedangkan Allah tidak butuh kepada apapun karena diri-Nya tidak terdiri atas bagian-bagian. Inilah rahasia penggandengan ayat ini dengan ayat berikutnya:
اللَّهُ الصَّمَدُ(2)
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Maknanya, Allah tidak memiliki kebutuhan dan ketergantungan, tetapi justeru kepada-Nya lah segala sesuatu bergantung. Pelajaran penting dalam kaitan ini adalah; jangan pernah menggantungkan harapan kepada selain Allah, karena semua yang selain Allah itu memiliki ketergantungan. Pada saat kita menggantungkan harapan kepada seseorang misalnya, maka sekurang-kurangnya orang tersebut punya ketergantungan tertentu pada saat memenuhi harapan kita. Boleh jadi ia bersedia memenuhi harapan kita, namun ia sesungguhnya juga berkepentingan dalam bentuk lainnya pada saat memenuhi harapan kita. Lihatlah betapa banyak orang yang dermawan, padahal target jangka panjangnya adalah untuk meraih kursi anggota dewan. Tidak sedikit kita temukan orang yang gemar membagi harta, namun tidak lama kemudian ia juga minta untuk dipilih saat PILKADA.
Keyakinan kepada Allah sebagai satu-satunya tempat menggantungkan harapan berimplikasi pada keniscayaan penyerahan diri secara total kepada Allah. Penyerahan diri dimaksud juga bermakna sebagai penghambaan diri kepada-Nya. Penghambaan diri  kepada Allah yang diajarkan di dalam Islam bukan dimaksudkan untuk membujuk dan merayu Allah sehingga tidak ditimpakan malapetaka kepada manusia. Penghambaan diri dimaksud terejawantah dalam aktivitas 'ubudiyah (peribadatan) yang sama sekali tidak membawa keuntungan apa-apa bagi Tuhan, melainkan semata-mata menguntungkan manusia sendiri.
Dari sisi lain, ibadah dalam Islam mempunyai cakupan yang sangat luas. seseorang hanya perlu memenuhi tiga keriteria tertentu sehingga segenap aktivitas yang dilakukannya akan bernilai ibadah. Kriteria pertama, ketulusan niat; bahwa apa yang dilakukannya tersebut semata-mata untuk mencari ridha Allah. Kriteria kedua, memenuhi asas manfaat; apapun yang dikerjakan itu tidak sia-sia. Kriteria ketiga, tidak bertentangan dengan aturan yang ada. Pemenuhan tiga kriteria tersebut pada setiap kegiatan akan membawa seseorang berkekalan dalam aktivitas ibadah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar