Kamis, 03 Mei 2012

Mengikis Mitos Bulan Safar


MENGIKIS MITOS SEPUTAR BULAN SHAFAR
Oleh: Tgk. Samsul Bahri, M.Ag.


Shafar adalah salah satu nama bulan dari dua belas bulan dalam kalender Islam atau tahun Hijriyah. Shafar berada di urutan kedua sesudah bulan Muharam. Secara etimologi, Shafar adalah Bahasa Arab yang memilliki sejumlah arti di antaranya kosong, kuning, dan nama penyakit.
Bulan ini dinamakan sebagai bulan Shafar dalam pengertian “kosong” karena kebiasaan orang-orang Arab zaman dulu meninggalkan tempat kediaman atau rumah mereka (sehingga kosong) pada bulan tersebut untuk berperang ataupun bepergian jauh. Selanjutnya penamaan bulan Shafar dalam pengertian “kuning”, karena biasanya bulan tersebut bertepatan dengan musim panas yang menyebabkan dedaunan menjadi kering dan berwarna kuning. Akan halnya shafar yang diidentifikasi sebagai nama penyakit karena masyarakat Arab pada masa jahiliyah dahulu meyakini adanya penyakit berbahaya yang disebabkan oleh keberadaan ulat besar dalam perut seseorang. Masih ada satu pendapat lainnya terkait dengan penamaan bulan Shafar, yaitu angin yang berhawa panas dan menyerang sehingga menyebabkan sakit perut.
Keseluruhan arti shafar yang disebutkan di atas menunjukkan sisi negatif. Hal inilah yang selanjutnya menimbulkan kesan bahwa bulan Shafar itu harus diwaspadai. Kesan seperti ini berkembang dari suatu generasi ke generasi berikutnya hingga saat ini.
Di berbagai wilayah Nusantara misalnya, sebagian umat Islam hingga saat ini masih menganggap bulan Shafar sebagai pembawa kesialan. Atas dasar itu, mereka tidak berani melakukan berbagai aktivitas seperti walimah perkawinan karena dikhawatirkan tidak mampu bertahan lama. Mereka juga tidak berani membangun rumah karena dikhawatirkan tidak membawa ketenangan; serta tidak berani pula memulai usaha karena dikhawatirkan tidak berkembang dengan baik. Perjalanan jarak jauh sebaiknya tidak dilakukan dalam bulan ini karena dianggap berbahaya.
Dalam pada itu, bulan Shafar diyakini sebagai bulan panas sehingga harus hati-hati dalam berbicara. Pembicaraan yang kurang terkontrol dapat menyulut emosi dan pertikaian. Masyarakat sangat dianjurkan untuk tidak sering menggunakan senjata tajam karena berpeluang untuk melukai orang lain. Begitulah sebagian mitos tentang bulan shafar.
Hal yang lebih memprihatinkan lagi sehubungan dengan mitos bulan Shafar adalah keyakinan sebagian masyarakat tentang wajibnya mandi shafar pada hari Rabu terakhir bulan ini. Mandi shafar (Rabu habeh) itu dimaksudkan untuk membuang sial. Apabila sial tidak dibuang melalui mandi shafar, seseorang akan terus menerus diintai oleh petaka dan bencana.
Pertanyaannya; sesuaikah keyakinan seperti digambarkan di atas dengan ajaran Islam? Benarkah Shafar itu bulan panas, penuh sial, petaka dan bencana? Selanjutnya, mestikah kita mandi Rabu habeh di bulan Shafar untuk membuang sial?
Pertanyaan ini sesungguhnya tidak sulit dijawab jika kita benar-benar menjadikan al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam dan Sunnah sebagai penjelasnya. Tidak ada satu pun ayat al-Qur’an yang menyinggung persoalan kesialan bulan Shafar. Bahkan, nama bulan Shafar saja tidak disebutkan di dalam al-Qur’an. Satu-satunya nama bulan yang terdapat di dalam al-Qur’an  hanyalah bulan Ramadhan. Itu pun disebutkan dalam koteks fadhilah (kemuliaannya) karena di dalamnya diturunkan kitab suci tersebut.
Selain Ramadhan, Allah hanya menyebutkan empat bulan haram, yang di dalamnya dilarang melakukan peperangan;
Artinya: "Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan (sebagaimana) dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antara (yang dua belas bulan itu) terdapat empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu...” (Q.S.al-Taubah: 36).
Bulan-bulan haram yang dimaksudkan di dalam ayat di atas adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Pada bulan-bulan tersebut tidak diperkenankan berperang. Jadi, bulan Shafar tidak disinggung sedikit pun di sini.
Selanjutnya, di dalam hadis Rasulullah terdapat ungkapan bulan Sahafar dalam beragam konteksnya. Salah satu di antaranya adalah penafian akan adanya sial pada bulan Shafar. Artinya, Rasulullah secara tegas membantah keyakinan sebagian orang bahwa bulan Shafar itu menimbulkan petaka melalui sabda Beliau I,yang terdapat di dalam sejumlah kitab hadis riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmuzi, Nasa’iy, Ahmad ibn Hanbal, dan Ibnu Majah; Laa ‘adwaa wa laa thiyarata wa laa shafara wa laa haamata.
لا عَدْوَى ، وَلا طِيَرَة ، وَلا صَفَر ، وَلا هَامَة

artinya: Tidak ada penyakit yang menular sendiri, tidak ada undian nasib dengan menggunakan burung, tidak ada hantu-hantuan dan tidak ada (kesialan) bulan Safar.(HR.Bukhari dari Abu Hurairah r.a).
                       
Jika di dalam al-Qur’an dan hadis tidak terdapat persoalan bulan Shafar yang dimitoskan itu, mengapa sebagian umat Islam meyakini kebenarannya? Satu-satunya jawaban yang masuk akal dalam hal ini adalah; karena mereka tidak berilmu. Karena keawaman dan kejahilan, sebagian umat Islam hidup dan menghidupkan mitos yang merugikan sekaligus menggelikan itu. Kita berdoa semoga Allah senantiasa menyinari kita dengan cahaya hidayah-Nya agar dapat membedakan mana kebenaran dan mana mitos kesesatan. Kita juga lebih-lebih perlu berdoa lagi semoga orang-orang yang tergurita oleh mitos bulan Shafar itu memperoleh hidayah Allah dan kembali ke jalan kebenaran. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar